Sepi Tapi “Ramai” di Pulau Biawak

View Pulau Biawak

PROLOG

“Pulau Biawak?? Dimana tuh Ntho? Ada juga Pulau Komodo!”, ledek beberapa teman saat ajakan gw lontarkan. Apalagi saat trip ini gw lakuin (Juni 2010), emang belum banyak juga tempat-tempat yang gw jelajah, maklum masih tergolong newbie. Hehehe. Terus, dapat informasi dari mana donk kalo ada tempat bernama Pulau Biawak? Awalnya sih, gegara foto teman di facebook yang baru pulang dari tempat ini. Dari hasil foto-fotonya, underwater-nya lumayan bagus. View-nya juga bagus. Ada mercusuarnya juga! Tambahan lagi, masih belum banyak orang yang tau alias masih perawan #yumm #ehh. Dari hasil googling, hanya sedikit info yang gw dapatin tentang pulau ini. Garis besarnya, pulau Biawak terletak di sebelah utara Pulau Jawa bagian tengah dan termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Well, memang nggak populer banget di Indramayu ada pulau, yang paling terkenal emang mangganya. Selain disebut Pulau Biawak, pulau ini juga biasa dikenal dengan sebutan Pulau Menyamak dan Pulau Byompis. Sebelum hari H, salah satu dari rombongan, melakukan survey dulu ke Indramayu dan didapatkanlah seorang nelayan yang mau mengantarkan kami ke pulau Biawak bernama Pak Tasid.

ADVENTURE BEGINS

*Bagian 1: Perjalanannya*

Hari yang dinantikan pun tiba. Setelah seharian kerja, rasanya trip ini bakal menjadi pelarian yang sempurna #tsahh. Kami semua janjian di Terminal Kampung Rambutan pukul 21:00. Terminal ini dipilih dibandingkan terminal lain karena banyak pilihan bus yang bisa mengantarkan kami ke Indramayu. Tapi kalo mau jujur sih, terminal ini cukup dekat dari rumah gw (Maaf ya kawans, baru terungkap sekarang :p ). Dengan Pak Tasid, kami janjian sampai di Indramayu pukul 3:00 dinihari. Dan si bapak ini terus-terusan menelpon. Sepertinya kuatir kami tiba-tiba membatalkan perjalanan kami. Pasalnya, malam itu Jakarta diguyur hujan dan Indramayu pun juga. Jadi nggak salah sih kalo si bapak kuatir.  🙂

Untuk mengumpulkan full team, ngaret 1 jam dari jam janjian awal, tapi ini udah gw prediksi. Makanya kalo janjian ama orang Indonesia, majuin waktunya ½-1jam. Hahaha. Begitu ada sebuah bus bertuliskan Cirebon via Indramayu, kami semua menghentikannya dan mulai naik. Begitu naik, baru 10 menit duduk, si kenek udah mulai minta ongkos. Oy bang, narik napas dulu napah? Pffft. Udah gitu, si abang minta 45 ribu sampe Indramayu. Karena the power of googling, gw udah tau kalo ke Indramayu cuma 30 ribu, jadi gw kasih 30 ribu terus buang muka ke arah jendela *evil grin*. Dan ternyata yak, ini bus nggak langsung jalan donk. Masih ngetem di Pasar Rebo. Nggak tanggung-tanggung pulak ngetemnya, 1 jam sajaaaa *nyanyi ala Audi*. Alhasil pukul 23:00 kami baru meluncur ke Indramayu. #capede. Setelah bus berjalan lumayan jauh, ada perasaan nggak enak tentang kamera gw. Buru-buru gw buka tas kamera, dan tebak saudara-saudara. Nggak, nggak ilang. Amit-amit deh. Kamera Canon 500D gw masih ngejogrok di tas, tapi begitu gw coba nyalain. Dang! Nggak nyala. Dan ketika gw buka tempat baterainya. Kosong! Gw buka kantong kecilnya pun nggak ada baterai sama sekali. Stupid me! Telpon orang rumah, ternyata masih nyolok di chargerannya di kamar (-_-*)

Sekitar pukul 3 dini hari, kami sampai di pertigaan Celeng Indramayu. Karena sudah nggak ada angkot (Menurut ngana?! Siapa yang naik angkot malam gini??), kami langsung tawar menawar dengan tukang ojek yang memang banyak mangkal di sekitar pertigaan Celeng. Kami meminta tukang ojek ini ke Karangturi, tempat awal perjalanan kami. Tidak cukup alotn karena memang sebelumnya sudah tau harga dasar, kami deal dengan harga 20ribu saja. Kalo di Jakarta dengan harga segini ya kaya dari kantor (Gatot Subroto) ke Ambasador, jadi gw pikir sama aja lah ya jaraknya. Ternyata yaaaaa…Jauhhhhh…Lewatin sawah-sawah, beberapa kampung, jalanan becek karena abis ujan. Dan bayangin aja naik ojek pukul 3 dini hari, duinginnya nampol jo! Setengah jam menggigil di atas motor, kami baru sampai di rumah Pak Tasid. Kirain rumahnya ini di pinggir pantai karena akan menjadi titik awal, ternyata rumahnya di pinggir sungai. Saat itu masih gelap, dengan menggunakan senter kami beranjak ke perahu yang akan membawa kami ke Pulau Biawak. Dannn…Cukup terkejut gw melihat kondisi perahunya. Perahu nelayan seadanya!! Atap terpalnya digulung ke atas. Perahu ini tidak memiliki ruang kemudi, jadi Pak Tasid nanti mengemudikannya di belakang. Gosh! Benar-benar beda dengan perahu-perahu yang pernah gw naikin ketika mengunjungi Belitong, Ujung Kulon, Pulau Sebesi dan Kiluan. Yap betul, kembali ke, gw saat itu masih newbie dalam traveling 🙂

Perahu Kami

Berlayar sepanjang sungai menuju Pulau Biawak dengan ditemani taburan bintang di langit. Air sungai pun sangat tenang. Ahh… Damai sekali. Namun kedamaian ini nggak berlangsung lama. Sampai di muara sungai, ombak mulai mengayun-ayun perahu kami. Masih belum seberapa sih. Tetapi sesampainya di lautan bebas, ombak mulai mengganas. Perahu kami dihempas ke atas, ke kanan dan ke kiri. Ombak terparah yang pernah gw alamin selama gw traveling di laut. Satu persatu teman-teman mulai tumbang a.k.a jackpot! Keadaan semakin diperparah dengan turun hujan!! Ya Allah, BADAAAAAAAAAIIII!!!!!!!!!!! Alhamdulilah terpal digulung. Coba aja bayangin kalo dibentangin, terus ada angin kencang. Kapal kita bisa terbalik!! Kami mulai berpegangan tangan satu sama lain sambil di dalam hati segala kata taubat terucap. Dalam hati gw berkata “Ya Allah, hamba nggak mau mati di sini. Kalaupun hamba mati, ampuni segala dosa hamba Ya Rabb. Ampuni hamba”. Segala flashback kehidupan ke belakang terlintas. Benar-benar kaya mau mati. Air laut masuk ke dalam kapal menyiram kami serta barang bawaan kami. Kuyup, meringkuk kedinginan sambil diombang-ambing Neptunus. Air mata berlinang deras tapi tersamarkan dengan air laut. Sampai akhirnya, di tengah-tengah hujan kami melihat pulau dengan mercusuar. HARAPAN!! 5 jam terombang-ambing badai di tengah lautan, akhirnya kami sampai di daratan Pulau Biawak. Sujud syukur karena masih diberikan keselamatan. Ucapan hamdalah juga terus mengalir dari bibir kami. Sesampainya di dermaga, kami langsung disambut oleh 2 penjaga pulau. Kedua penjaga itu terheran-heran, kok berani ya berlayar ke sini dengan kondisi ombak begitu? Salah satu bapak nyeletuk “Di sini aja ada 2 kapal yang nggak pulang selama 4 hari”, sembari menunjuk ke kedua kapal yang sekarang berlayar menjauhi pulau. Masya Allah, nelayan-nelayan itu menyangkanya lautan teduh karena kami bisa sampai ke pulau. Dalam hati kami semua berdoa semoga tidak terjadi apa-apa pada keduanya. #angelface

Narsis Walau Kuyup

*Bagian 2: Pulaunya*

Kedua penjaga pulau mengantarkan kami ke tempat yang bisa kami tiduri. Ada 5 rumah dinas  dan 1 kamar mesin merangkap gudang yang berdiri di pulau ini. Beberapa bagian terlihat atap bangunan sudah lapuk, tembok-tembok yang terkelupas. Ditambah lagi kondisi kamar mandi yang kumuh dan hanya satu-satunya. Kami diberikan 1 rumah untuk ditinggali. Sampai di sana, kami mulai sibuk mengeluarkan semua isi tas kami yang sudah basah. Alhamdulillah, gw bawa drybag sebagai tempat kamera. Semua sibuk berebutan tali jemuran untuk menjemur pakaian kita yang lepek. Sebagian karena elaparan, mulai pergi ke dapur untuk memasak mie instan, bubur instan & sereal instan, sekaligus memberikan sedikit “oleh-oleh” untuk kedua penjaga pulau. Selepas makan, kami menunggu ombak mereda untuk melakukan snorkeling. Menunggu…. Menunggu… Dan menunggu… Ombak tak kunjung mengecil.. Tapi jangan sediiihhhh.. Banyak yang bisa dieksplore kok di Pulau Biawak. Akhirnya kami memutuskan untuk eksplor pulau saja. Eksplorasi dimulai dengan berziarah ke makam Syeh Syarif Khasan yang menurut Pak Manto (sang penjaga pulau), Syeh Syarif Khasan adalah seorang ulama islam yang terkenal dan dimakamkan di situ. Untuk menuju makam, kami harus melewati jalan setapak yang tersusun dari batu dan semen. Hanya 10 menit untuk mencapai posisi makam dari rumah dinas. Saat menuju makam, kami melewati beberapa rumah panggung berbentuk resort. Rumahnya bagus-bagus tapi sayang kondisinya terbengkalai. Rumah-rumah tersebut letaknya berdampingan dengan hutan dan tertutup rimbunnya pohon-pohon yang tumbuh subur. Selepas dari makam, kami kembali ke areal rumah dinas untuk “bermain” dengan “penduduk asli” Pulau Biawak. Sesuai namanya, di pulau ini banyak terdapat biawak (Varanus salvator) dari yang berukuran sedang sampai berukuran besar, berkeliaran di sepanjang pantai. Mulailah berfoto narsis bersama biawak-biawak yang dipancing keluar dengan ikan. Walau teman-teman yang wanita seringnya berlarian ketika biawaknya mendekati. Hahaha.

Sang Biawak

Setelah “bermain-main” dengan biawak, kami mulai mengeksplor mercusuar yang berdiri kokoh di dekat rumah dinas. Mercusuar ini berfungsi sebagai penanda yang paling terlihat saat berada di laut lepas dan menuju Pulau Biawak. Bangunan peninggalan Belanda ini dibangun tahun 1872. Kok bisa tau sih? Di atas pintu masuk ke dalam mercusuar terdapat lempengan logam yang yang bertuliskan tahun pembuatan ini. Mercusuar setinggi 65 meter ini dibangun atas perintah Raja Z.M. Willem III. Setelah foto narsis di depan pintu mercusuar ini, kamipun mulai masuk ke dalam dan menaiki hingga puncak mercusuar. Dari atas, kita dapat menikmati hijaunya hutan bakau yang menutupi Pulau Biawak ini. Sayangnya kami tidak menghitung jumlah anak tangga untuk sampai ke atas (#yakale iseng ngitungin). Dikarenakan angin yang masih cukup kencang, kami nggak berlama-lama di situ. Selesai berfoto-foto, kami mulai turun. Sampai di dasar, gw iseng ke sisi yang tertutup tangga dan jlengg…Tetiba dada gw sesak dan kepala gw keliyengan. Gw nggak berpikir macam-macam saat itu dan langsung menuju ke luar mengikuti yang lain. Sesampainya di luar, Sofyan yang paling belakangan keluar dari mercusuar berteriak, “Minggir minggir, sempit tau!”. Padahal nggak ada siapa-siapa. Lagi-lagi nggak mau ambil pusing, langsunglah kami menuju dermaga untuk menunggu sunset. Selepas menikmati sunset di dermaga, kami kembali ke tempat menginap untuk bebersih dan makan malam. Nggak langsung makan lho ya, kita masak dulu. Hehehe

Mercusuar Pulau Biawak

View Pulau Biawak Dari Atas Mercusuar

Sunset di Pulau Biawak

*Bagian 3: Semakin “Ramai”*

Lalu sehabis maghrib, kami berkumpul kembali. Dan dikarenakan listrik di sini menggunakan genset, maka listrik di sini cuma menyala dari pukul 19 – 23 saja. Ketika lampu menyala, kami mulai main UNO. Selain sebagai aktivitas killing time, kami juga memutuskan untuk tidak tidur karena perjalanan kembali ke Indramayu akan dilakukan pukul 3 dinihari. Malam mulai larut, penghuni malam pun mulai bangkit. Hush! Yang gw maksud nyamuk. Nah, ada cerita unik tentang nyamuk di pulau ini. “Jangan sekali-sekali kalian mengatakan banyak nyamuk di sini”, ujar Pak Manto tadi siang. Sebelum kami menapakkan kaki di sini pun, seorang teman yang pernah ke sini pun mengatakan demikian. Jadi sebelum sampai kita sudah tau. Akhirnya ketika awal sebelum datang, kita sudah memutuskan untuk menggantikan kata “nyamuk” dengan kata “cendol”. Kenapa cendol? Karena kami dikumpulkan berkat postingan ajakan di kaskus yang gw post. Berdasarkan cerita Pak Manto, kalau bilang nyamuk, maka nyamuk itu akan terus mengikuti kita kemanapun kita pergi. Beugh, annoying banget tuh nyamuk. Tapi sebenarnya…Ah nanti aja gw cerita kalau udah saatnya. Hehehe #ngeselin #sokbikinpenasaran. Kembali ke U-NO! #pakegayaTukul, permainan semakin malam semakin seru dan “ramai”. Saat itu kami sudah lupa waktu, tapi yang pasti belum pukul 11 malam karena lampu dari genset masih menyala. Tetiba Sofyan teriak dan bilang ada yang sedang ngeliatin kita dari jendela. Kami semua sedikit parno, tapi kembali melanjutkan permainan karena kita pikir itu hanya akal-akalan si Sofyan saja. Baru beberapa lama sejak kejadian itu, Luki yang memang tidak ikut bermain dan memilih untuk tidur duluan tiba-tiba bangun dengan muka agak-agak menyeramkan. Terus dengan suara parau, dia berkata “Mbahnya udah pulang, jangan berisik”. Lalu kembali tertidur. Kita semua saat itu Cuma berpikir si Luki bercanda dengan maksud menakut-nakuti kita karena tidurnya terganggu dengan berisiknya kita bermain. Jadi ya, permainan tetap kita lanjutkan sampai listrik mati. Well, ketika listrik matipun kami masih sempat melanjutkan 2 babak lagi. Nah ini yang cukup mengagetkan karena Mita yang duduk di samping gw tiba-tiba aja teriak “Ahhh!! Apaan tuh putih-putih di luar??!!” Gw lihat juga cahaya putih melintas di luar jendela. Gw coba nenangin Mita dan semuanya dengan bilang kalau itu cuma cahaya dari mercusuar. Padahal, cahaya mercusuar kan nggak menyinari bawahnya tetapi jauh ke luar pulau. Gw cukup merinding di sini, tapi the show must go on! #lhaaa. Menjelang permainan UNO kita sudahi, tetiba Harry yang posisi duduknya membelakangi sebuah kamar langsung berdiri dan menutup pintu kamar itu. Katanya “Kuping gw ditiup-tiup gitu”. OK enough of scary things, kita mutusin tidur dulu. Tapi karena para cewek minta anterin ke toilet, gw-Harry-Luki-Sandos keluar untuk menemani mereka. Saat menunggu para cewek ke toilet, para cowok berjalan menuju dermaga untuk mengingatkan nelayan tentang rencana pulang kita esok. Begitu sampai dermaga, kami lihat sosok orang sedang tidur di dermaga yang kami sangka Pak Tasid. Kamipun mengurungkan niat kami untuk membangunkan beliau dan kembali ke rumah dinas. Namun, langkah kami baru beberapa meter, tetiba terdengar keras derap langkah prajurit. Well, ini beneran kedengeran jelas oleh kami berempat!! Kami pun ngibrit lari untuk menjemput para cewek. Kami tidak menceritakan hal ini karena kuatir mereka ketakutan dan nggak bisa tidur. Satu persatu sesampainya di ruangan, kami mulai tertidur. Sampai akhirnya gw kebangun gegara si Sofyan yang tidur di samping gw kebangun. Gw masih sempet liat jam, pukul 02:30. Di luar terdengar suara langkah anak-anak kecil sedang berlari-lari. Hal ini yang membuat Sofyan bangun. Tapi gw mutusin tidur lagi.

Narsis di Perahu

*Bagian 4: Pulangnya*

Pukul 06:00 kami dibangunkan untuk berlayar. Yahh, kebo semua! Ngaret deh dari jadwal awal. Kami mulai masak sarapan sebelum berlayar. Sekitar ½ jam kemudian, kami memulai petualangan kami kembali ke daratan Jawa. Kondisi awal perjalanan cukup aman.. Tapi layaknya awal perginya, kondisi cuaca mulai memburuk. Ombak membesar. Langit berubah dari terang ke gelap. Hujannnn… Bwahhhhh… Astaghfirullah. Seperti dejavu, kami dihadapkan kembali pada situasi antara hidup dan mati. Tetapi kali ini ombak dan badainya lebih parah. Atau jangan-jangan ini karena kita nggak mandi ya? Kan pas perginya juga nggak mandi tuh. LOL. Akhirnya setelah 6 jam di atas laut diombang-ambing, kami sampai di Karangturi juga. Kali ini sujud syukur di daratan Jawa. Alhamdulillah masih diberikan keselamatan. Di sini, Pak Tasid nyeletuk, “Kalian ini pemberani semua ya? Kok pas mau berangkat kena badai tapi nggak minta pulang, padahal saya sebenarnya takut”. Jegerrr… Lha tahu begitu ya kita nggak meneruskan. Hahaha. Setelah itu kami menumpang mandi di rumah Pak Tasid. Berbekal pengalaman pas pergi, gw sempet masukin baju dan celana di dalam drybag jadi ada baju kering! Setelah semuanya selesai mandi dan berpamitan kepada keluarga Pak Tasid, kami melanjutkan perjalanan ke Celeng dengan menyewa angkot. Sampai Celeng kami meutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Selesai makan siang, rombongan terpecah karena tujuan pulangnya berbeda-beda. Ada yang ke Rawamangun, Kampung Rambutan dan Bandung.

EPILOG

Setelah trip, beberapa hari kemudian kami kembali berkumpul untuk sharing foto. Di dalam satu foto, kami menemukan adanya “penampakan” ketika kami berfoto di dalam mercusuar. Kita pun menanyakan tentang hal terbangunnya Luki dan dia bilang dia tidur pulas kok. Dang! Gw juga bertanya kepada Sofyan yang waktu keluar mercusuar teriak minggir-minggir. Dan ternyataaaaa….Sofyan itu punya 6th sense!! Jadi katanya, di dalam mercusuar itu emang “penuh” dengan makhluk yang kasat mata. Dia juga memaparkan kenapa nggak boleh bilang nyamuk. Alasannya adalah karena “penguasa” makhluk-makhluk itu berbentuk nyamuk yang besar! Dan derap langkah prajurit yang kita dengar itu karena ketika jaman Belanda memang banyak pembunuhan di sana. Well, selain hal-hal gaib, trip kali ini kami tidak hanya menikmati keindahan Indonesia, tapi juga menyadari betapa kecilnya diri kami (terutama ketika di laut). Kami nggak berdaya menghadapi kuasa Tuhan. Dan hanya kepada-Nya kita memohon. Bisa saja di tengah laut perahu kami dibalik.

Narsis di Dermaga

Narsis di Dermaga (2)

Narsis Depan Mercusuar

21 responses to “Sepi Tapi “Ramai” di Pulau Biawak

  1. trus penyebab ini apa? —> “gw iseng ke sisi yang tertutup tangga dan jlengg…Tetiba dada gw sesak dan kepala gw keliyengan”
    well, terus terang dalam kisah ini gue lebih tertarik kisah mistisnya 😀

    • jd…d situ itu “pusat” nya gt om..makany kan “rame” bnr pas tmn gw mo kluar mercusuar..sayangny foto penampakanny gak boleh dishare 🙂

  2. Seru! Mau nyobain kesana jadinya..Indramayu ya -_-” ? hmmm..aneh sih baru denger soalnya…

    Btw, itu di Poto terakhir ada orbs nya bukan :p

Leave a reply to epul Cancel reply